Sabtu, 16 November 2013
Jumat, 15 November 2013
SULTAN HASANUDDIN
I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape yang lebih dikenal dengan
nama Sultan Hasanuddin dilahirkan tahun 1631. la adalah putera kedua
dari Saltan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15. Ibunya bukan permaisuri.
Karena sebenarnya ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan Gowa, tetapi
ketika Malikussaid meninggal dunia pada tahun 1655, para pembesar
kerajaan, termasuk permaisuri, sepakat untuk menobatkan Mallombosi
sebagai raja
Pilihan terhadap Mallombosi didasarkan atas prestasi yang dicapainya sewaktu ayahnya masih memerintah. Malikussaid sendiri memang sudah mengarahkan anaknya ini untuk menjadi pewaris tahta kerajaan. Kepadanya diajarkan berbagai keahlian yang bersangkut-paut dengan cara-cara menjalankan pemerintahan. Dalam usia 20 tahun ia sudah dikirim sebagai utusan resmi kerajaan Gowa ke berbagai kerajaan lain di Indonesia. Tugasnya ialah menjalin kerja sama antara Gowa dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Selain itu ayahnya juga mengangkatnya sebagai panglima perang.
Pada waku Hasanuddin menaiki tahta kerajaan hubungan antara Gowa dengan VOC (Vereenigde Oast Jndische Compagnie – Persekutuan Dagang Belanda yang beroperasi di Indonesia) sedang dalam keadaan tegang. Pertentangan antara Gowa dengan VOC sudah mulai terasa sejak masa pemerintahan Malikussaid. Pada waktu itu Gowa merupakan kerajaan besar dan menguasai lalu lintas perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur. Pelabuhan Ujung Pandang merupakan bandar yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing, termasuk Belanda. Bahan dagang yang utama ialah rempah-rempah yang berasal dari kepulauan Maluku. Rempah-rempah dibawa ke Eropa dan dijual dengan harga yang sangat tinggi. Perdagangan ini banyak memberikan keuntungan kepada VOC.
Gowa menganut politik bebas dalam hal perdagangan. Kerajaan ini bcrdagang dengan pihak mana pun yang dianggap akan menguntungkan. Belanda (VOC) tidak menyukai hal yang demikian dan karena itu menuntut hak monopoli atas perdagangan di wilayah Gowa. Sebagai raja yang berdaulat, Malikussaid menoiak tuntutan tersebut.
Penolakan itu sudah diperhitungkan oleh Malikussaid. la menduga, bahwa pada suatu waktu pasti akan terjadi bentrokan bersenjata dengan VOC, karena itu ia berusaha menghimpun kekuatan untuk menghadapi musuh asing ini. Malikussaid membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di sekitar Gowa. Ulahanya tidak selalu berjalan lancar. Kadang-kadang ia terpaksa menempuh cara kekerasan, yakni memerangi kerajaan yang menolak untuk bergabung seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Bantaeng. Serangan terhadap Bone tabun 1644, menimbulkan akibat buruk dikemudian hari. Aru Palaka, salah seorang bangsawan Bone yang ditawan di Gowa, memihak VOC dan berusaha menghancurkan Gowa.
Situasi yang demikianlah yang dihadapi Hasanuddin pada waktu ia naik tahta sebagai raja Gowa. Pertentangan dengan VOC semakin meningkat, sementara beberapa kerajaan kecil bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Gowa. Aru Palaka memberontak dengan dibantu oleh raja Soppeng. Pemberontakan itu berhasil dipatahkan, tetapi Aru Palaka melarikan diri ke Buton dan mendapat perlindungan dari Sultan Buton. Bersama dengan kurang lebih 400 orang pengikutnya, Aru Palaka kemudian berangkat ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan VOC.
Dalam tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal VOC De Walvisch memasuki perairan Ujung Pandang tanpa izin. Hasanuddin memerintahkan kapal Gowa mengejar kapal tersebut sehingga kandas di pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam yang ada di kapal De Walvisch disita oleh Gowa.
VOC tidak tinggal diam dan berusaha melemahkan Gowa melalui taktik adu-domba, dengan cara membujuk Sultan Ternate. Sultan ini bersedia menyerahkan Pulau Pantsiano (Muna) kepada Sultan Buton, padahal pulau tersebut sudah menjadi bagian kerajaan Gowa.
Dua tahun sesudah peristiwa De Walvisch, terjadi lagi insiden mengenai kapal. Akhir tahun 1664 kapal VOC De Leeuwin kandas di Pulau Dayang-dayangan, di selatan benteng Panakubang. Seratus orang anak buah kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang ditawan oleh Gowa. VOC menuduh Gowa menyita uang ringgit dan perak yang terdapat dalam kapal dan menuntut agar uang itu dikembalikan. Hasanuddin menolak dengan alasan, bahwa semua barang yang disita dalam keadaan perang menjadi milik pihak yang menyita. VOC mengirim Cornells Kuyffbeserta 14 orang anak buahnya ke tempat kapal itu kandas tanpa memberitahukan kepada Hasanuddin. Raja Gowa yang merasa kehormatannya dilanggar segera bertindak. Kuyff dan anak buahnya ditawan dan kemudian dibunuh.
Melihat sikap Hasanuddin yang keras itu VOC berusaha membujuknya Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dalam tahun 1665 mengutus Joan van Wesenhagen ke Gowa untuk menemui Hasanuddin. la ditugaskan untuk menjajagi kemungkinan diadakannya perdamaian. Usaha itu gagal. Hasanuddin menolak gagasan perdamaian, sebab syarat-syarat yang ditentukan VOC merugikan kepentingan Gowa. VOC menuduh Gowa mendapat bantuan Inggris untuk melawan mereka. Inggris memang menawarkan bantuan, tetapi Hasanuddin tidak bersedia menerimanya. la percaya pada kekuatan sendiri dan tidak akan menempatkan Gowa di bawah kekuasaan asing.
Sementara itu Gowa menyerang Buton yang telah melindungi Aru Palaka. Serangan itu dijadikan alasan oleh VOC untuk melibatkan diri dalam pertempuran terbuka. VOC menganggap Buton sebagai sekutu dan karena itu serangan terhadap Buton berarti serangan terhadap VOC.
Tanggal 24 November 1666 armada VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berangkat dari Batavia (Jakarta) menuju Gowa. Armada itu berkekuatan 21 kapal perang, dan membawa 1.000 orang tentara, 600 di antaranya serdadu Belanda. Dalam rombongan ini Aru Palaka turut serta dan memimpin pasukan sendiri. Tanggal 19 Desember armada VOC sudah tiba di perairan Gowa. Speelman mengirim utusan untuk menemui Hasanuddin dan menyampaikan beberapa tuntutan, antara lain :
Gowa harus membayar ganti rugi atas terbunuhnya orang-orang Belanda di Pulau Dayang-dayangan ;
Sultan Hasanuddin harus menyerahkan orang yang membunuh Kuyff ke pada Speelman.
Hasanuddin menolak tuntutan tersebut. Dua hari kemudian, 21 Desember 1666, VOC memaklumkan perang kepada Gowa. Benteng-benteng pertahanan Gowa, yakni Somba Opu, Panakubang, dan Ujung Pandang di tembaki dengan meriam. Dari benteng-benteng itu prajurit-prajurit Gowa melepaskan tembakan balasan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa waktu lamanya, Speelman menyadari bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin ditembusnya karena itu ia mengubah taktik serangan.
Kebetulan pada waktu itu sebagian pasukan Gowa terlibat pertempuran di Buton. Speelman yang mengetahui hal itu, menggerakkan armadanya ke Buton. Mereka berhasil mendarat di suatu tempat tanpa mengalami perlawanan yang berarti. Tetapi ketika pasukan itu bergerak ke daerah pedalaman, penduduk menyambut mereka dengan panah dan ranjau-ranjau beracun. Pasukan Belanda terpaksa kembali ke kapalnya dan kemudian berlayar menuju Bantaeng. Di tempat ini mereka menemui perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah membakar persediaan padi, pasukan Belanda mengundurkan diri dan kembali ke Buton.
Di perairan Buton pun berkobar pertempuran. Tetapi di sini Belanda mendapat bantuan dari pasukan Aru Palaka. Menghadapi pasukan gabungan itu, pasukan Gowa menjadi kewalahan. Pemimpin pasukan Gowa, Karaeng Bontomarannu, Datu Luwu, dan Sultan Bima terpaksa menghentikan pertempuran. Ketiganya kemudian ditawan oleh Belanda.
Hasanuddin tidak putus asa. la menyiapkan siasat baru untuk melemahkan VOC. Raja Bone, La Maddaremmeng yang sejak tahun 1664 ditawan di Gowa, dikembalikan ke Bone dan diangkat sebagai raja. Dengan cara demikian, Hasanuddin ingin menarik simpati rakyat Bone agar mereka melawan Aru Palaka dan Speelman, tetapi siasat itu tidak berhasil. Setibanya di Bone, La Maddaremmeng menyerahkan kekuasaannya kepada Aru Palaka.
Sebaliknya ancaman terhadap Hasanuddin bertambah besar. Aru Palaka mengerahkan pasukannya menyerang Ujung Pandang melalui jalan darat. Sementara itu Speelman, setelah mengumpulkan kekuatan di Maluku, kembali ke Goa membawa pasukan gabungan yang cukup besar.
Pertempuran dahsyat berkobar mulai tanggal 7 Juli 1667. Pasukan Gowa bertahan sekuat tenaga, tetapi karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya mereka terpaksa mengundurkan diri dari Bantaeng menuju Gowa untuk memperkuat pertahanan di tempat ini dan sekaligus melindungi Sultan mereka. Tanggal 13 Juli pasukan Belanda tiba di Somba Opu setelah sebelumnya terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Gowa di Jeneponto.
Bagian lain dari pasukan Belanda di bawah pimpinan Pollman bergerak ke selatan Galesong dan bergabung dengan pasukan Aru Palaka. Setelah terlibat dalam pertempuran yang melelahkan selama empat hari, pasukan ini berhasil menduduki Galesong. Pertempuran selanjutnya berkobar ketika pasukan Belanda berusaha merebut benteng Barombong.
Pertempuran yang telah berlangsung selama beberapa bulan itu menimbulkan kerugian yang cukup banyak di pihak Gowa. Kekuatan mereka menjadi lemah. Banyak prajurit yang tewas. Hasanuddin menyadari hal itu. la memerlukan waktu untuk menambah kekuatannya. Karena itu ia bersedia menerima tawaran Belanda untuk mengadakan perundingan damai. Ia tidak bertekad untuk betul-betul tunduk kepada Belanda. Kesediaan berdamai itu hanyalah sebagai siasat sambil menanti waktu yang baik untuk menyerang kembali.
Perjanjian damai diadakan di Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Perjanjian yang terdiri atas sembilan belas pasal itu sama sekali tidak memuaskan Hasanuddin. Ia merasa kebebasannya banyak dibatasi. Namun ia menerimanya untuk sementara sesuai dengan perhitungan yang sudah dibuatnya. Sesuai dengan siasat itu Hasanuddin menyiapkan pasukan dan menambah kekuatannya. Pertempuran berkobar kembali. Dalam pertempuran ini pasukan Gowa menggunakan peluru beracun yang banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda. Luka-luka yang diakibatkan peluru beracun itu tidak mudah disembuhkan. Dalam waktu empat minggu hampir 200 orang tentara Belanda meninggal dunia.
Tanggal 5 Agustus 1668 Belanda malancarkan serangan besar-besaran dan berhasil mendesak pasukan Gowa. Tetapi di tempat lain, bagian dari pasukan itu dikepung oleh pasukan Gowa. Sebagian besar dari pasukan yang terkepung itu tewas. Sisanya hanya bisa diselamatkan setelah Balanda mendatangkan bantuan dari Ternate.
Seminggu kemudian pertempuran berkobar kembali. Pasukan Belanda berhasil merampas 27 pucuk meriam Gowa. Sesudah itu pertempuran berhenti untuk sementara waktu. Rupanya Belanda menghadapi kesulitan. Banyak tentaranya yang terserang penyakit, sehingga sebagian besar harus dipulangkan ke Jakarta. Kurang lebih 100 orang meninggal dunia, antara lain Van der Straten, orang kedua setelah Speelman.
Speelman memulihkan kekuatannya terlebih dahulu sebelum melancarkan serangan baru. Ia menunggu datangnya bantuan dari Jakarta. Sementara itu, untuk mengalihkan perhatian Hasanuddin, ia menawarkan perundingan damai pada bulan November 1668. Tawaran itu ditolak oleh Hasanuddin. Tawaran kcdua dalam bulan April 1669 mengalami nasib yang sama.
Setelah bantuan dari Jakarta tiba di perairan Ujung Pandang, Speelman bersiap-siap untuk menyerang kembali. Sasaran utama ialah benteng Somba Opu. Anak buah Hasanuddin bertahan mati-matian, namun akhirnya pada tanggal 12 Juni 1669 benteng itu jatuh juga ke tangan Belanda. Tidak kurang dari 272 meriam disita oleh Belanda. Meriam pusaka kesultanan yang disebut “Anak Makasar” pun niereka ambil.
Pada saat pertempuran hebat berkobar di Somba Opu dan setelah melihat bahwa benteng itu tak mungkin lagi dipertahankan, Hasanuddin dan kelurganya menyingkir ke Maccini Sombala. la ingin membangun pertahanan baru ditempat ini. la bersiap-siap untuk melancarkan serangan, tetapi tidak jadi dilaksanakan, karena kekuatannya tidak mencukupi.
Speelman mencari siasat baru untuk melemahkan semangat orang-orang Gowa. la mengumumkan amnesti, pengampunan Rakyat yang dalam waktu lima hari menyerah kepada Belanda, akan diterima sebagai sahabat. Tetapi, hasil amnesti itu tidak banyak. Sesudah itu kembalilah Speelman menjalankan kekerasan. Benteng-benteng para pembesar Gowa yang tidak mau mengikuti perjanjian Bongaya, diserang. Di antara para pembesar itu ialah raja Tallo dan Karaeng Lengkese. Mereka kemudian berhasil di bujuk oleh Sultan Ternate sehingga bersedia mengakui Perjanjian Bongaya.
Dengan jatuhnya beberapa benteng dan menyerahnya beberapa orang pembesar kerajaan, kekuatan Hasanuddin menjadi semakin Iemah. la cukup mengetahui bahwa para pengikutnya yang masih ada, tetap setia kepadanya. la masih bisa memerintahkan mereka untuk meneruskan perang, tetapi akibatnya akan terlalu besar. Bila perang dilanjutkan, akan terlalu banyak rakyatnya yang jatuh menjadi korban. Pertimbangan itulah yang akhirnya menyebabkan ia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari tahta kesultanan Gowa. Pemerintahan diserahkan kepada puteranya yang baru berusia 13 tahun, yang kelak bergelar Sultan Amir Hamzah. Karena masih sangat muda, pemerintahan dijalankan oleh Karaeng Tunananga Ripasiringanna.
Hasanuddin sendiri tetap menolak untuk bekerjasama dengan Belanda. Ia meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670, setelah sebagian besar dari usianya digunakan untuk membangun Gowa dan mempertahankan kemerdekaannya.
Keberanian Hasanuddin diakui oleh kawan maupun lawan. Belanda menjulukinya sebagai Haantje van het Oosten (Ayam Jantan dari Timur).
Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa-jasanya dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973 tanggal 6 November 1973. Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
Pilihan terhadap Mallombosi didasarkan atas prestasi yang dicapainya sewaktu ayahnya masih memerintah. Malikussaid sendiri memang sudah mengarahkan anaknya ini untuk menjadi pewaris tahta kerajaan. Kepadanya diajarkan berbagai keahlian yang bersangkut-paut dengan cara-cara menjalankan pemerintahan. Dalam usia 20 tahun ia sudah dikirim sebagai utusan resmi kerajaan Gowa ke berbagai kerajaan lain di Indonesia. Tugasnya ialah menjalin kerja sama antara Gowa dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Selain itu ayahnya juga mengangkatnya sebagai panglima perang.
Pada waku Hasanuddin menaiki tahta kerajaan hubungan antara Gowa dengan VOC (Vereenigde Oast Jndische Compagnie – Persekutuan Dagang Belanda yang beroperasi di Indonesia) sedang dalam keadaan tegang. Pertentangan antara Gowa dengan VOC sudah mulai terasa sejak masa pemerintahan Malikussaid. Pada waktu itu Gowa merupakan kerajaan besar dan menguasai lalu lintas perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur. Pelabuhan Ujung Pandang merupakan bandar yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing, termasuk Belanda. Bahan dagang yang utama ialah rempah-rempah yang berasal dari kepulauan Maluku. Rempah-rempah dibawa ke Eropa dan dijual dengan harga yang sangat tinggi. Perdagangan ini banyak memberikan keuntungan kepada VOC.
Gowa menganut politik bebas dalam hal perdagangan. Kerajaan ini bcrdagang dengan pihak mana pun yang dianggap akan menguntungkan. Belanda (VOC) tidak menyukai hal yang demikian dan karena itu menuntut hak monopoli atas perdagangan di wilayah Gowa. Sebagai raja yang berdaulat, Malikussaid menoiak tuntutan tersebut.
Penolakan itu sudah diperhitungkan oleh Malikussaid. la menduga, bahwa pada suatu waktu pasti akan terjadi bentrokan bersenjata dengan VOC, karena itu ia berusaha menghimpun kekuatan untuk menghadapi musuh asing ini. Malikussaid membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di sekitar Gowa. Ulahanya tidak selalu berjalan lancar. Kadang-kadang ia terpaksa menempuh cara kekerasan, yakni memerangi kerajaan yang menolak untuk bergabung seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Bantaeng. Serangan terhadap Bone tabun 1644, menimbulkan akibat buruk dikemudian hari. Aru Palaka, salah seorang bangsawan Bone yang ditawan di Gowa, memihak VOC dan berusaha menghancurkan Gowa.
Situasi yang demikianlah yang dihadapi Hasanuddin pada waktu ia naik tahta sebagai raja Gowa. Pertentangan dengan VOC semakin meningkat, sementara beberapa kerajaan kecil bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Gowa. Aru Palaka memberontak dengan dibantu oleh raja Soppeng. Pemberontakan itu berhasil dipatahkan, tetapi Aru Palaka melarikan diri ke Buton dan mendapat perlindungan dari Sultan Buton. Bersama dengan kurang lebih 400 orang pengikutnya, Aru Palaka kemudian berangkat ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan VOC.
Dalam tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal VOC De Walvisch memasuki perairan Ujung Pandang tanpa izin. Hasanuddin memerintahkan kapal Gowa mengejar kapal tersebut sehingga kandas di pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam yang ada di kapal De Walvisch disita oleh Gowa.
VOC tidak tinggal diam dan berusaha melemahkan Gowa melalui taktik adu-domba, dengan cara membujuk Sultan Ternate. Sultan ini bersedia menyerahkan Pulau Pantsiano (Muna) kepada Sultan Buton, padahal pulau tersebut sudah menjadi bagian kerajaan Gowa.
Dua tahun sesudah peristiwa De Walvisch, terjadi lagi insiden mengenai kapal. Akhir tahun 1664 kapal VOC De Leeuwin kandas di Pulau Dayang-dayangan, di selatan benteng Panakubang. Seratus orang anak buah kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang ditawan oleh Gowa. VOC menuduh Gowa menyita uang ringgit dan perak yang terdapat dalam kapal dan menuntut agar uang itu dikembalikan. Hasanuddin menolak dengan alasan, bahwa semua barang yang disita dalam keadaan perang menjadi milik pihak yang menyita. VOC mengirim Cornells Kuyffbeserta 14 orang anak buahnya ke tempat kapal itu kandas tanpa memberitahukan kepada Hasanuddin. Raja Gowa yang merasa kehormatannya dilanggar segera bertindak. Kuyff dan anak buahnya ditawan dan kemudian dibunuh.
Melihat sikap Hasanuddin yang keras itu VOC berusaha membujuknya Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dalam tahun 1665 mengutus Joan van Wesenhagen ke Gowa untuk menemui Hasanuddin. la ditugaskan untuk menjajagi kemungkinan diadakannya perdamaian. Usaha itu gagal. Hasanuddin menolak gagasan perdamaian, sebab syarat-syarat yang ditentukan VOC merugikan kepentingan Gowa. VOC menuduh Gowa mendapat bantuan Inggris untuk melawan mereka. Inggris memang menawarkan bantuan, tetapi Hasanuddin tidak bersedia menerimanya. la percaya pada kekuatan sendiri dan tidak akan menempatkan Gowa di bawah kekuasaan asing.
Sementara itu Gowa menyerang Buton yang telah melindungi Aru Palaka. Serangan itu dijadikan alasan oleh VOC untuk melibatkan diri dalam pertempuran terbuka. VOC menganggap Buton sebagai sekutu dan karena itu serangan terhadap Buton berarti serangan terhadap VOC.
Tanggal 24 November 1666 armada VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berangkat dari Batavia (Jakarta) menuju Gowa. Armada itu berkekuatan 21 kapal perang, dan membawa 1.000 orang tentara, 600 di antaranya serdadu Belanda. Dalam rombongan ini Aru Palaka turut serta dan memimpin pasukan sendiri. Tanggal 19 Desember armada VOC sudah tiba di perairan Gowa. Speelman mengirim utusan untuk menemui Hasanuddin dan menyampaikan beberapa tuntutan, antara lain :
Gowa harus membayar ganti rugi atas terbunuhnya orang-orang Belanda di Pulau Dayang-dayangan ;
Sultan Hasanuddin harus menyerahkan orang yang membunuh Kuyff ke pada Speelman.
Hasanuddin menolak tuntutan tersebut. Dua hari kemudian, 21 Desember 1666, VOC memaklumkan perang kepada Gowa. Benteng-benteng pertahanan Gowa, yakni Somba Opu, Panakubang, dan Ujung Pandang di tembaki dengan meriam. Dari benteng-benteng itu prajurit-prajurit Gowa melepaskan tembakan balasan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa waktu lamanya, Speelman menyadari bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin ditembusnya karena itu ia mengubah taktik serangan.
Kebetulan pada waktu itu sebagian pasukan Gowa terlibat pertempuran di Buton. Speelman yang mengetahui hal itu, menggerakkan armadanya ke Buton. Mereka berhasil mendarat di suatu tempat tanpa mengalami perlawanan yang berarti. Tetapi ketika pasukan itu bergerak ke daerah pedalaman, penduduk menyambut mereka dengan panah dan ranjau-ranjau beracun. Pasukan Belanda terpaksa kembali ke kapalnya dan kemudian berlayar menuju Bantaeng. Di tempat ini mereka menemui perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah membakar persediaan padi, pasukan Belanda mengundurkan diri dan kembali ke Buton.
Di perairan Buton pun berkobar pertempuran. Tetapi di sini Belanda mendapat bantuan dari pasukan Aru Palaka. Menghadapi pasukan gabungan itu, pasukan Gowa menjadi kewalahan. Pemimpin pasukan Gowa, Karaeng Bontomarannu, Datu Luwu, dan Sultan Bima terpaksa menghentikan pertempuran. Ketiganya kemudian ditawan oleh Belanda.
Hasanuddin tidak putus asa. la menyiapkan siasat baru untuk melemahkan VOC. Raja Bone, La Maddaremmeng yang sejak tahun 1664 ditawan di Gowa, dikembalikan ke Bone dan diangkat sebagai raja. Dengan cara demikian, Hasanuddin ingin menarik simpati rakyat Bone agar mereka melawan Aru Palaka dan Speelman, tetapi siasat itu tidak berhasil. Setibanya di Bone, La Maddaremmeng menyerahkan kekuasaannya kepada Aru Palaka.
Sebaliknya ancaman terhadap Hasanuddin bertambah besar. Aru Palaka mengerahkan pasukannya menyerang Ujung Pandang melalui jalan darat. Sementara itu Speelman, setelah mengumpulkan kekuatan di Maluku, kembali ke Goa membawa pasukan gabungan yang cukup besar.
Pertempuran dahsyat berkobar mulai tanggal 7 Juli 1667. Pasukan Gowa bertahan sekuat tenaga, tetapi karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya mereka terpaksa mengundurkan diri dari Bantaeng menuju Gowa untuk memperkuat pertahanan di tempat ini dan sekaligus melindungi Sultan mereka. Tanggal 13 Juli pasukan Belanda tiba di Somba Opu setelah sebelumnya terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Gowa di Jeneponto.
Bagian lain dari pasukan Belanda di bawah pimpinan Pollman bergerak ke selatan Galesong dan bergabung dengan pasukan Aru Palaka. Setelah terlibat dalam pertempuran yang melelahkan selama empat hari, pasukan ini berhasil menduduki Galesong. Pertempuran selanjutnya berkobar ketika pasukan Belanda berusaha merebut benteng Barombong.
Pertempuran yang telah berlangsung selama beberapa bulan itu menimbulkan kerugian yang cukup banyak di pihak Gowa. Kekuatan mereka menjadi lemah. Banyak prajurit yang tewas. Hasanuddin menyadari hal itu. la memerlukan waktu untuk menambah kekuatannya. Karena itu ia bersedia menerima tawaran Belanda untuk mengadakan perundingan damai. Ia tidak bertekad untuk betul-betul tunduk kepada Belanda. Kesediaan berdamai itu hanyalah sebagai siasat sambil menanti waktu yang baik untuk menyerang kembali.
Perjanjian damai diadakan di Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Perjanjian yang terdiri atas sembilan belas pasal itu sama sekali tidak memuaskan Hasanuddin. Ia merasa kebebasannya banyak dibatasi. Namun ia menerimanya untuk sementara sesuai dengan perhitungan yang sudah dibuatnya. Sesuai dengan siasat itu Hasanuddin menyiapkan pasukan dan menambah kekuatannya. Pertempuran berkobar kembali. Dalam pertempuran ini pasukan Gowa menggunakan peluru beracun yang banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda. Luka-luka yang diakibatkan peluru beracun itu tidak mudah disembuhkan. Dalam waktu empat minggu hampir 200 orang tentara Belanda meninggal dunia.
Tanggal 5 Agustus 1668 Belanda malancarkan serangan besar-besaran dan berhasil mendesak pasukan Gowa. Tetapi di tempat lain, bagian dari pasukan itu dikepung oleh pasukan Gowa. Sebagian besar dari pasukan yang terkepung itu tewas. Sisanya hanya bisa diselamatkan setelah Balanda mendatangkan bantuan dari Ternate.
Seminggu kemudian pertempuran berkobar kembali. Pasukan Belanda berhasil merampas 27 pucuk meriam Gowa. Sesudah itu pertempuran berhenti untuk sementara waktu. Rupanya Belanda menghadapi kesulitan. Banyak tentaranya yang terserang penyakit, sehingga sebagian besar harus dipulangkan ke Jakarta. Kurang lebih 100 orang meninggal dunia, antara lain Van der Straten, orang kedua setelah Speelman.
Speelman memulihkan kekuatannya terlebih dahulu sebelum melancarkan serangan baru. Ia menunggu datangnya bantuan dari Jakarta. Sementara itu, untuk mengalihkan perhatian Hasanuddin, ia menawarkan perundingan damai pada bulan November 1668. Tawaran itu ditolak oleh Hasanuddin. Tawaran kcdua dalam bulan April 1669 mengalami nasib yang sama.
Setelah bantuan dari Jakarta tiba di perairan Ujung Pandang, Speelman bersiap-siap untuk menyerang kembali. Sasaran utama ialah benteng Somba Opu. Anak buah Hasanuddin bertahan mati-matian, namun akhirnya pada tanggal 12 Juni 1669 benteng itu jatuh juga ke tangan Belanda. Tidak kurang dari 272 meriam disita oleh Belanda. Meriam pusaka kesultanan yang disebut “Anak Makasar” pun niereka ambil.
Pada saat pertempuran hebat berkobar di Somba Opu dan setelah melihat bahwa benteng itu tak mungkin lagi dipertahankan, Hasanuddin dan kelurganya menyingkir ke Maccini Sombala. la ingin membangun pertahanan baru ditempat ini. la bersiap-siap untuk melancarkan serangan, tetapi tidak jadi dilaksanakan, karena kekuatannya tidak mencukupi.
Speelman mencari siasat baru untuk melemahkan semangat orang-orang Gowa. la mengumumkan amnesti, pengampunan Rakyat yang dalam waktu lima hari menyerah kepada Belanda, akan diterima sebagai sahabat. Tetapi, hasil amnesti itu tidak banyak. Sesudah itu kembalilah Speelman menjalankan kekerasan. Benteng-benteng para pembesar Gowa yang tidak mau mengikuti perjanjian Bongaya, diserang. Di antara para pembesar itu ialah raja Tallo dan Karaeng Lengkese. Mereka kemudian berhasil di bujuk oleh Sultan Ternate sehingga bersedia mengakui Perjanjian Bongaya.
Dengan jatuhnya beberapa benteng dan menyerahnya beberapa orang pembesar kerajaan, kekuatan Hasanuddin menjadi semakin Iemah. la cukup mengetahui bahwa para pengikutnya yang masih ada, tetap setia kepadanya. la masih bisa memerintahkan mereka untuk meneruskan perang, tetapi akibatnya akan terlalu besar. Bila perang dilanjutkan, akan terlalu banyak rakyatnya yang jatuh menjadi korban. Pertimbangan itulah yang akhirnya menyebabkan ia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari tahta kesultanan Gowa. Pemerintahan diserahkan kepada puteranya yang baru berusia 13 tahun, yang kelak bergelar Sultan Amir Hamzah. Karena masih sangat muda, pemerintahan dijalankan oleh Karaeng Tunananga Ripasiringanna.
Hasanuddin sendiri tetap menolak untuk bekerjasama dengan Belanda. Ia meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670, setelah sebagian besar dari usianya digunakan untuk membangun Gowa dan mempertahankan kemerdekaannya.
Keberanian Hasanuddin diakui oleh kawan maupun lawan. Belanda menjulukinya sebagai Haantje van het Oosten (Ayam Jantan dari Timur).
Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa-jasanya dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973 tanggal 6 November 1973. Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
Kamis, 14 November 2013
PEMERINTAH KABUPATEN TAKALAR PERIODE 2012-2017
DR. H. BURHANUDDIN BAHARUDDIN. SE. M.Si (BUPATI TAKALAR)
H. M. NATSIR IBRAHIM. SE (WAKIL BUPATI TAKALAR)
PERIODE 2012-2017
VISI
TAKALAR TERDEPAN DALAM PELAYANAN
MENUJU MASYARAKAT SEJAHTERA
BERKEADILAN BERIMAN DAN BERTAQWA
MISI
1. MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
2. MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH
3. MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
4. MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
5. MENINGKATKAN PENGHAYATAN NILAI KEAGAMAAN
12 PROGRAM UNGGULAN
1. ASURANSI JIWA BAGI MASYARAKAT MISKIN
2. BANTUAN MODAL USAHA DENGAN POLA KEMITRAAN
3. BEASISWA BAGI SISWA YANG BERPRESTASI
4. PROGRAM BIAYA PENYELESAIAN STUDY
5. PERTUKARAN PELAJAR
6. MELANJUTKAN & MENINGKATKAN PENDIDIKAN & KESEHATAN GRATIS YANG LEBIH BERKUALITAS
7. PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAERAH (PID)
8. PEMBANGUNAN EKONOMI DESA (PED)
9. PEMBANGUNAN LAND MARK KOTA TAKALAR BERUPA ALUN-ALUN KOTA YANG BERFUNGSI SEBAGAI PUSAT KEGIATAN MASYARAKAT & SPORT CENTRE
10. PEMBANGUNAN KAWASAN WISATA TERPADU (KWT)
11. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA & SUMBER DAYA APARATUR
12. PENINGKATAN PELAYANAN PEMERINTAHAN BAGI MASYARAKAT KEPULAUAN
Jumat, 08 November 2013
Pahlawan dari Kabupaten Gowa, Syech Yusuf
1626 : 3 Juli, Syech Yusuf lahir di Gowa. Beliau meninggalkan Makassar dan menetap di Banten.
1644 : 22 September, Menunaikan ibadah haji
1683 : Diasingkan dari Banten ke Srilangka oleh Belanda
1694 : Dipindahkan dari Srilangka ke Cape Town Afrika Selatan
1699 : 23 Mei, wafat di Cape Town
1705 : 6 April, dikebumikan di Duniaga Lakiung Gowa
1996 : 9 Nopember, menjadi pahlawan Nasional Republik Indonesia
2005 : 27 September, menjadi pahlawan Nasional di Afrika Selatan
Sabtu, 02 November 2013
Mahkota Raja Gowa-Tallo / Salokoa ( تاج )
Salokoa / Mahkota Kerajaan Gowa terbuat dari perak sepuh emas berbentuk seperti kuncup bunga teratai yang mempunyai lima helai kelopak dan diberi hiasan permata sebanyak 250 biji. Masing-masing berwarna merah dan putih. Proses kedatangannya menutut mitologi orang Makassar menjelma bersama dengan To Manurung Raja Gowa yang pertama sekitar abad XIV-XV
Jika ingin melihat langsung mahkota ini, silahkan berkunjung ke Balla Lompoa, Somba Opu, Gowa. Atau replikanya, di Museum La Galigo, Benteng Rotterdam, Makassar.
Jika ingin melihat langsung mahkota ini, silahkan berkunjung ke Balla Lompoa, Somba Opu, Gowa. Atau replikanya, di Museum La Galigo, Benteng Rotterdam, Makassar.
Langganan:
Postingan (Atom)