
I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape yang lebih dikenal dengan
nama Sultan Hasanuddin dilahirkan tahun 1631. la adalah putera kedua
dari Saltan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15. Ibunya bukan permaisuri.
Karena sebenarnya ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan Gowa, tetapi
ketika Malikussaid meninggal dunia pada tahun 1655, para pembesar
kerajaan, termasuk permaisuri, sepakat untuk menobatkan Mallombosi
sebagai raja
Pilihan terhadap Mallombosi didasarkan atas prestasi yang
dicapainya sewaktu ayahnya masih memerintah. Malikussaid sendiri memang
sudah mengarahkan anaknya ini untuk menjadi pewaris tahta kerajaan.
Kepadanya diajarkan berbagai keahlian yang bersangkut-paut dengan
cara-cara menjalankan pemerintahan. Dalam usia 20 tahun ia sudah dikirim
sebagai utusan resmi kerajaan Gowa ke berbagai kerajaan lain di
Indonesia. Tugasnya ialah menjalin kerja sama antara Gowa dengan
kerajaan-kerajaan tersebut. Selain itu ayahnya juga mengangkatnya
sebagai panglima perang.
Pada waku Hasanuddin menaiki tahta kerajaan hubungan antara Gowa
dengan VOC (Vereenigde Oast Jndische Compagnie – Persekutuan Dagang
Belanda yang beroperasi di Indonesia) sedang dalam keadaan tegang.
Pertentangan antara Gowa dengan VOC sudah mulai terasa sejak masa
pemerintahan Malikussaid. Pada waktu itu Gowa merupakan kerajaan besar
dan menguasai lalu lintas perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur.
Pelabuhan Ujung Pandang merupakan bandar yang ramai dikunjungi
pedagang-pedagang asing, termasuk Belanda. Bahan dagang yang utama ialah
rempah-rempah yang berasal dari kepulauan Maluku. Rempah-rempah dibawa
ke Eropa dan dijual dengan harga yang sangat tinggi. Perdagangan ini
banyak memberikan keuntungan kepada VOC.
Gowa menganut politik bebas dalam hal perdagangan. Kerajaan ini
bcrdagang dengan pihak mana pun yang dianggap akan menguntungkan.
Belanda (VOC) tidak menyukai hal yang demikian dan karena itu menuntut
hak monopoli atas perdagangan di wilayah Gowa. Sebagai raja yang
berdaulat, Malikussaid menoiak tuntutan tersebut.
Penolakan itu sudah diperhitungkan oleh Malikussaid. la menduga,
bahwa pada suatu waktu pasti akan terjadi bentrokan bersenjata dengan
VOC, karena itu ia berusaha menghimpun kekuatan untuk menghadapi musuh
asing ini. Malikussaid membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan
lain yang ada di sekitar Gowa. Ulahanya tidak selalu berjalan lancar.
Kadang-kadang ia terpaksa menempuh cara kekerasan, yakni memerangi
kerajaan yang menolak untuk bergabung seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan
Bantaeng. Serangan terhadap Bone tabun 1644, menimbulkan akibat buruk
dikemudian hari. Aru Palaka, salah seorang bangsawan Bone yang ditawan
di Gowa, memihak VOC dan berusaha menghancurkan Gowa.
Situasi yang demikianlah yang dihadapi Hasanuddin pada waktu ia
naik tahta sebagai raja Gowa. Pertentangan dengan VOC semakin meningkat,
sementara beberapa kerajaan kecil bersiap-siap untuk melepaskan diri
dari kekuasaan Gowa. Aru Palaka memberontak dengan dibantu oleh raja
Soppeng. Pemberontakan itu berhasil dipatahkan, tetapi Aru Palaka
melarikan diri ke Buton dan mendapat perlindungan dari Sultan Buton.
Bersama dengan kurang lebih 400 orang pengikutnya, Aru Palaka kemudian
berangkat ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan VOC.
Dalam tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal VOC De
Walvisch memasuki perairan Ujung Pandang tanpa izin. Hasanuddin
memerintahkan kapal Gowa mengejar kapal tersebut sehingga kandas di
pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam yang ada di kapal De Walvisch disita
oleh Gowa.
VOC tidak tinggal diam dan berusaha melemahkan Gowa melalui
taktik adu-domba, dengan cara membujuk Sultan Ternate. Sultan ini
bersedia menyerahkan Pulau Pantsiano (Muna) kepada Sultan Buton, padahal
pulau tersebut sudah menjadi bagian kerajaan Gowa.
Dua tahun sesudah peristiwa De Walvisch, terjadi lagi insiden
mengenai kapal. Akhir tahun 1664 kapal VOC De Leeuwin kandas di Pulau
Dayang-dayangan, di selatan benteng Panakubang. Seratus orang anak buah
kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang ditawan oleh Gowa.
VOC menuduh Gowa menyita uang ringgit dan perak yang terdapat dalam
kapal dan menuntut agar uang itu dikembalikan. Hasanuddin menolak dengan
alasan, bahwa semua barang yang disita dalam keadaan perang menjadi
milik pihak yang menyita. VOC mengirim Cornells Kuyffbeserta 14 orang
anak buahnya ke tempat kapal itu kandas tanpa memberitahukan kepada
Hasanuddin. Raja Gowa yang merasa kehormatannya dilanggar segera
bertindak. Kuyff dan anak buahnya ditawan dan kemudian dibunuh.
Melihat sikap Hasanuddin yang keras itu VOC berusaha membujuknya
Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dalam tahun 1665 mengutus Joan van
Wesenhagen ke Gowa untuk menemui Hasanuddin. la ditugaskan untuk
menjajagi kemungkinan diadakannya perdamaian. Usaha itu gagal.
Hasanuddin menolak gagasan perdamaian, sebab syarat-syarat yang
ditentukan VOC merugikan kepentingan Gowa. VOC menuduh Gowa mendapat
bantuan Inggris untuk melawan mereka. Inggris memang menawarkan bantuan,
tetapi Hasanuddin tidak bersedia menerimanya. la percaya pada kekuatan
sendiri dan tidak akan menempatkan Gowa di bawah kekuasaan asing.
Sementara itu Gowa menyerang Buton yang telah melindungi Aru
Palaka. Serangan itu dijadikan alasan oleh VOC untuk melibatkan diri
dalam pertempuran terbuka. VOC menganggap Buton sebagai sekutu dan
karena itu serangan terhadap Buton berarti serangan terhadap VOC.
Tanggal 24 November 1666 armada VOC di bawah pimpinan Cornelis
Speelman berangkat dari Batavia (Jakarta) menuju Gowa. Armada itu
berkekuatan 21 kapal perang, dan membawa 1.000 orang tentara, 600 di
antaranya serdadu Belanda. Dalam rombongan ini Aru Palaka turut serta
dan memimpin pasukan sendiri. Tanggal 19 Desember armada VOC sudah tiba
di perairan Gowa. Speelman mengirim utusan untuk menemui Hasanuddin dan
menyampaikan beberapa tuntutan, antara lain :
Gowa harus membayar ganti rugi atas terbunuhnya orang-orang Belanda di Pulau Dayang-dayangan ;
Sultan Hasanuddin harus menyerahkan orang yang membunuh Kuyff ke pada Speelman.
Hasanuddin menolak tuntutan tersebut. Dua hari kemudian, 21
Desember 1666, VOC memaklumkan perang kepada Gowa. Benteng-benteng
pertahanan Gowa, yakni Somba Opu, Panakubang, dan Ujung Pandang di
tembaki dengan meriam. Dari benteng-benteng itu prajurit-prajurit Gowa
melepaskan tembakan balasan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa
waktu lamanya, Speelman menyadari bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin
ditembusnya karena itu ia mengubah taktik serangan.
Kebetulan pada waktu itu sebagian pasukan Gowa terlibat
pertempuran di Buton. Speelman yang mengetahui hal itu, menggerakkan
armadanya ke Buton. Mereka berhasil mendarat di suatu tempat tanpa
mengalami perlawanan yang berarti. Tetapi ketika pasukan itu bergerak ke
daerah pedalaman, penduduk menyambut mereka dengan panah dan
ranjau-ranjau beracun. Pasukan Belanda terpaksa kembali ke kapalnya dan
kemudian berlayar menuju Bantaeng. Di tempat ini mereka menemui
perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah membakar persediaan padi,
pasukan Belanda mengundurkan diri dan kembali ke Buton.
Di perairan Buton pun berkobar pertempuran. Tetapi di sini
Belanda mendapat bantuan dari pasukan Aru Palaka. Menghadapi pasukan
gabungan itu, pasukan Gowa menjadi kewalahan. Pemimpin pasukan Gowa,
Karaeng Bontomarannu, Datu Luwu, dan Sultan Bima terpaksa menghentikan
pertempuran. Ketiganya kemudian ditawan oleh Belanda.
Hasanuddin tidak putus asa. la menyiapkan siasat baru untuk
melemahkan VOC. Raja Bone, La Maddaremmeng yang sejak tahun 1664 ditawan
di Gowa, dikembalikan ke Bone dan diangkat sebagai raja. Dengan cara
demikian, Hasanuddin ingin menarik simpati rakyat Bone agar mereka
melawan Aru Palaka dan Speelman, tetapi siasat itu tidak berhasil.
Setibanya di Bone, La Maddaremmeng menyerahkan kekuasaannya kepada Aru
Palaka.
Sebaliknya ancaman terhadap Hasanuddin bertambah besar. Aru
Palaka mengerahkan pasukannya menyerang Ujung Pandang melalui jalan
darat. Sementara itu Speelman, setelah mengumpulkan kekuatan di Maluku,
kembali ke Goa membawa pasukan gabungan yang cukup besar.
Pertempuran dahsyat berkobar mulai tanggal 7 Juli 1667. Pasukan
Gowa bertahan sekuat tenaga, tetapi karena kekuatan yang tidak seimbang,
akhirnya mereka terpaksa mengundurkan diri dari Bantaeng menuju Gowa
untuk memperkuat pertahanan di tempat ini dan sekaligus melindungi
Sultan mereka. Tanggal 13 Juli pasukan Belanda tiba di Somba Opu setelah
sebelumnya terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Gowa di
Jeneponto.
Bagian lain dari pasukan Belanda di bawah pimpinan Pollman
bergerak ke selatan Galesong dan bergabung dengan pasukan Aru Palaka.
Setelah terlibat dalam pertempuran yang melelahkan selama empat hari,
pasukan ini berhasil menduduki Galesong. Pertempuran selanjutnya
berkobar ketika pasukan Belanda berusaha merebut benteng Barombong.
Pertempuran yang telah berlangsung selama beberapa bulan itu
menimbulkan kerugian yang cukup banyak di pihak Gowa. Kekuatan mereka
menjadi lemah. Banyak prajurit yang tewas. Hasanuddin menyadari hal itu.
la memerlukan waktu untuk menambah kekuatannya. Karena itu ia bersedia
menerima tawaran Belanda untuk mengadakan perundingan damai. Ia tidak
bertekad untuk betul-betul tunduk kepada Belanda. Kesediaan berdamai itu
hanyalah sebagai siasat sambil menanti waktu yang baik untuk menyerang
kembali.
Perjanjian damai diadakan di Bongaya pada tanggal 18 November
1667. Perjanjian yang terdiri atas sembilan belas pasal itu sama sekali
tidak memuaskan Hasanuddin. Ia merasa kebebasannya banyak dibatasi.
Namun ia menerimanya untuk sementara sesuai dengan perhitungan yang
sudah dibuatnya. Sesuai dengan siasat itu Hasanuddin menyiapkan pasukan
dan menambah kekuatannya. Pertempuran berkobar kembali. Dalam
pertempuran ini pasukan Gowa menggunakan peluru beracun yang banyak
menimbulkan kerugian di pihak Belanda. Luka-luka yang diakibatkan peluru
beracun itu tidak mudah disembuhkan. Dalam waktu empat minggu hampir
200 orang tentara Belanda meninggal dunia.
Tanggal 5 Agustus 1668 Belanda malancarkan serangan
besar-besaran dan berhasil mendesak pasukan Gowa. Tetapi di tempat lain,
bagian dari pasukan itu dikepung oleh pasukan Gowa. Sebagian besar dari
pasukan yang terkepung itu tewas. Sisanya hanya bisa diselamatkan
setelah Balanda mendatangkan bantuan dari Ternate.
Seminggu kemudian pertempuran berkobar kembali. Pasukan Belanda
berhasil merampas 27 pucuk meriam Gowa. Sesudah itu pertempuran berhenti
untuk sementara waktu. Rupanya Belanda menghadapi kesulitan. Banyak
tentaranya yang terserang penyakit, sehingga sebagian besar harus
dipulangkan ke Jakarta. Kurang lebih 100 orang meninggal dunia, antara
lain Van der Straten, orang kedua setelah Speelman.
Speelman memulihkan kekuatannya terlebih dahulu sebelum
melancarkan serangan baru. Ia menunggu datangnya bantuan dari Jakarta.
Sementara itu, untuk mengalihkan perhatian Hasanuddin, ia menawarkan
perundingan damai pada bulan November 1668. Tawaran itu ditolak oleh
Hasanuddin. Tawaran kcdua dalam bulan April 1669 mengalami nasib yang
sama.
Setelah bantuan dari Jakarta tiba di perairan Ujung Pandang,
Speelman bersiap-siap untuk menyerang kembali. Sasaran utama ialah
benteng Somba Opu. Anak buah Hasanuddin bertahan mati-matian, namun
akhirnya pada tanggal 12 Juni 1669 benteng itu jatuh juga ke tangan
Belanda. Tidak kurang dari 272 meriam disita oleh Belanda. Meriam pusaka
kesultanan yang disebut “Anak Makasar” pun niereka ambil.
Pada saat pertempuran hebat berkobar di Somba Opu dan setelah
melihat bahwa benteng itu tak mungkin lagi dipertahankan, Hasanuddin dan
kelurganya menyingkir ke Maccini Sombala. la ingin membangun pertahanan
baru ditempat ini. la bersiap-siap untuk melancarkan serangan, tetapi
tidak jadi dilaksanakan, karena kekuatannya tidak mencukupi.
Speelman mencari siasat baru untuk melemahkan semangat
orang-orang Gowa. la mengumumkan amnesti, pengampunan Rakyat yang dalam
waktu lima hari menyerah kepada Belanda, akan diterima sebagai sahabat.
Tetapi, hasil amnesti itu tidak banyak. Sesudah itu kembalilah Speelman
menjalankan kekerasan. Benteng-benteng para pembesar Gowa yang tidak mau
mengikuti perjanjian Bongaya, diserang. Di antara para pembesar itu
ialah raja Tallo dan Karaeng Lengkese. Mereka kemudian berhasil di bujuk
oleh Sultan Ternate sehingga bersedia mengakui Perjanjian Bongaya.
Dengan jatuhnya beberapa benteng dan menyerahnya beberapa orang
pembesar kerajaan, kekuatan Hasanuddin menjadi semakin Iemah. la cukup
mengetahui bahwa para pengikutnya yang masih ada, tetap setia kepadanya.
la masih bisa memerintahkan mereka untuk meneruskan perang, tetapi
akibatnya akan terlalu besar. Bila perang dilanjutkan, akan terlalu
banyak rakyatnya yang jatuh menjadi korban. Pertimbangan itulah yang
akhirnya menyebabkan ia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari
tahta kesultanan Gowa. Pemerintahan diserahkan kepada puteranya yang
baru berusia 13 tahun, yang kelak bergelar Sultan Amir Hamzah. Karena
masih sangat muda, pemerintahan dijalankan oleh Karaeng Tunananga
Ripasiringanna.
Hasanuddin sendiri tetap menolak untuk bekerjasama dengan
Belanda. Ia meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670, setelah sebagian
besar dari usianya digunakan untuk membangun Gowa dan mempertahankan
kemerdekaannya.
Keberanian Hasanuddin diakui oleh kawan maupun lawan. Belanda
menjulukinya sebagai Haantje van het Oosten (Ayam Jantan dari Timur).
Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa-jasanya dan
berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973 tanggal 6
November 1973. Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional